ads

ASU TENAN

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Toleransi terhadap Pembajakan Hak Cipta Masih Tinggi

Toleransi terhadap Pembajakan Hak Cipta Masih Tinggi 

Toleransi terhadap pembajakan atas hak cipta di Indonesia masih tinggi. Buktinya, hingga kini belum ada tindakan konkret dalam memberantas pembajakan tersebut. Jikapun ada, sifatnya hanya sporadis dan tidak sampai ke titik persoalan. Bahkan, diduga ada oknum aparat yang juga "menikmati" keuntungan yang diperoleh dari pembajakan atas hak cipta. 





hukumonline


Tidak sedikit artis maupun pencipta lagu yang dirugikan karena rendahnya komitmen pemerintah beserta jajarannya untuk menegakkan ketentuan yang berlaku. Baru satu hari saja film atau sebuah lagu dijual, esok harinya sudah beredar film dan lagu bajakannya.
Dalam UU Hak Cipta, hak cipta tidak perlu didaftarkan melalui kantor pendafaran di Departemen Kehakiman dan HAM cq. Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dengan sendirinya, karya cipta tersebut dilindungi oleh hukum pada saat ide tersebut sudah diwujudkan menjadi sebuah karya. Lain halnya dengan HKI seperti Paten, Merek, Desain Industri, dan Rahasia Dagang. 

Zen Umar Purba, Dirjen HKI, mengatakan bahwa sebagai pemerintah, pihaknya tidak bisa begitu saja melakukan pemberantasan pelanggaran. Namun, bagaimana menciptakan satu sistem pengaturan yang juga tidak mematikan usaha masyarakat. Selama ini, pihaknya sudah berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti polisi.

Polisi sendiri bukan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas pembajakan hak cipta tersebut. Pselain itu, banyak pihak seperti kejaksaan dan pengadilan termasuk juga masyarakat di dalamnya.
Zen menambahkan, dari sekian banyak HKI yang dilindungi oleh undang-undang, hak cipta memang lebih sensitif. Pasalnya, pelanggaran hak cipta di Indonesia dikategorikan sebagai delik biasa. "Berbeda dengan keempat HKI lainnya yang dikategorikan sebagai delik aduan," kata Zen.   

Menurut catatan International Intellectual Property Alliance, pada 2000-2001, angka pembajakan di Indonesia mencapai nilai AS$ 174 juta. Menanggapi catatan tersebut, Zen berpendapat bahwa dalam kasus ini Indonesia tidak terlalu tinggi ketimbang negara lainnya seperti Malaysia, Thailand, China, dan Korsel.
Angka pembajakan di Malaysia mencapai AS$300 juta, bahkan di China mencapai AS$1 miliar. "Namun dari AS$174 volume pembajakan memang benar prosentasenya cukup besar, hampir mencapai rata-rata 90 persen dari seluruh barang yang beredar," tegas Zen kepada hukumonline

Lumrah mencari yang murah
Lumrah jika masyarakat atau konsumen mencari barang bajakan karena harganya lebih murah ketimbang membeli barang yang asli. Logika ini mungkin bisa diterima oleh kalangan menengah ke bawah. Lalu bagaimana dengan mereka yang berpandangan agar setiap karya memperoleh kompensasi sebagaimana mestinya.  
Saat ini, persoalan terletak pada belenggu bahwa barang bajakan adalah barang haram. Yang perlu dilakukan adalah mencari satu sistem perlindungan yang menyatakan standar suatu hasil produksi. Kemudian, barang asli dengan bajakan disejajarkan kemudian dibuat satu penilaian. "Setelah itu, biarkan masyarakat menilai. Dengan begitu, terjadi persaingan di antara barang yang sejenis," tambah Zen.    

Peningkatan royalti
Sementara itu, Rinto Harahap, Ketua YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) mengatakan bahwa meski pembajakan terus berlangsung, terjadi peningkatn royalti setiap tahunnya. Peningkatan ini diperoleh dari beberapa klasifikasi hak cipta lagu yang beredar di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan oleh YKCI untuk menegakkan hukum, khususnya di bidang hak cipta.
Di bawah ini royalti yang berhasil dihimpun oleh YKCI sejak tahun 1997 hingga 2001 lalu: 



Tahun
Hak Mengumumkan
Hak Memperbanyak
Total Pengumpulan
Dlm Negeri
Luar Negeri
1997
3.109.254.833
105.285.856
250.908.170
3.465.442.849
1998
2.888.185.257  
293.721.881
169.148.832
3.351.055.970
1999
3.082.716.859  
354.176.908
343.084.256
3.779.978.023
2000
3.947.673.679  
368.708.832
711.525.850
5.027.908.361
2001
5.197.295.670  
281.936.670
424.973.633
5.904.205.973




YKCI, menurut Rinto, juga telah bekerjasama dengan Kepolisian Daerah untuk menyelenggarakan sosialisasi UU Hak Cipta di beberapa wilayah Indonesia, seperti Sumatera Utara, Sumatra Selatan, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan beberapa wilayah Indonesia lainnya.

Rinto mengemukakan bahwa persoalan selama ini adalah lemahnya penegakan hukum di bidang HKI. Hal ini dikarenakan proses hukum yang begitu lama untuk menyelesaikan suatu kasus pelanggaran hak cipta.
Namun dari sekian banyak persoalan, mengupayakan kesadaran masyarakat (pencipta dan pengarang) merupakan faktor yang terpenting dari penegakkan hak cipta. Penegakan HKI bukan ada di tangan penegak hukum, melainkan di tangan setiap pribadi untuk tetap konsisten dalam menghargai karya cipta orang lain.

 

Indonesia, Surga Pembajakan Software di ASEAN



Indonesia, Surga Pembajakan Software di ASEAN
 


VIVAnews - Indonesia masih menjadi surga bagi pembajakan peranti lunak. Tingkat pembajakan di Tanah Air menunjukkan angka memprihatinkan dari tahun ke tahun.

Menurut laporan terakhir Global Software Piracy Study dari Business Software Alliance (BSA), tingkat pembajakan di Indonesia sepanjang tahun lalu meningkat hingga 86 persen.

Persentase ini menempatkan Indonesia di peringkat teratas negara ASEAN dalam hal pembajakan piranti lunak, "mengalahkan" Malaysia (55 persen), Thailand (72 persen), Filipina (70 persen), dan Vietnam (81 persen).

Seiring dengan peningkatan pembajakan, nilai kerugian yang diakibatkan juga meroket. Hingga akhir tahun 2012, nilai kerugian akibat pembajakan tembus US$1.467 miliar, atau setara Rp16,7 trilliun.

Pihak yang dirugikan juga bukan hanya perusahaan pengembang piranti lunak, tapi juga negara yang kehilangan pendapatan dari sektor pajak.

Tekla, salah satu perusahaan pengembang piranti lunak, mengalami kerugian Rp20 miliar, yang tercatat dari pembajakan peranti lunak Building Information Modeling atau BIM, di mana rata-rata peranti itu digunakan untuk pelanggan korporat.

"Pembajakan menghambat perkembangan ekonomi negara, karena ada sumber pendapatan negara yang hilang. Selain itu, ini juga menimbulkan masalah lain, yakni investor ragu menanamkan modal di Indonesia akibat pelanggaran hak cipta," tegas Kuasa Hukum Tekla Indonesia, Donny A Sheyoputra, dalam keterangan tertulis kepada VIVAnews, hari ini.

Ia menambahkan, penggunaan piranti lunak bajakan melanggar pasal 72 ayat 3 UU Nomor 13 2002 tentang Hak Cipta yang menyebutkan barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersil suatu program komputer, terancam dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak maksimal 500 juta rupiah.

Namun demikian, Donny memuji langkah kepolisian RI yang tegas dan efektif memberantas pembajakan ini. Misalnya, pada Oktober tahun lalu, Polres Bekasi telah menindak perusahaan asal Korsel, PT TS yang menggunakan 25 piranti lunak Tekla tanpa lisensi.

"Jika perusahaan menggunakan piranti lunak tanpa lisensi untk komersil, perusahaan itu bersaing secara tidak sehat dengan peruahaan lain yang menggunakan piranti lunak berlisensi. Tentu ini merusak iklim persaingan usaha secara menyeluruh," ujar Donny.

MAKALAH PEMBAJAKAN FILM (TUGAS ETIKA PROFESI TEKNOLOGI INFORMASI)



TUGAS MAKALAH ETIKA PROFESI TEKNOLOGI INFORMASI
CYBERCRIME DAN CYBER LOW PEMBAJAKAN FILM

http://lnk.splashurl.com/36Bc


DISUSUN OLEH :
Eka Septi Prasitiningtyas (12133201)
Ismi Tri Fauhiyah (12136463)
Muhammad Hadi P.A (12137263)
Sony Triharyanto (12135197)
Taufiq Hermawan (12131414)


AKADEMI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER BINA SARANA INFORMATIKA YOGYAKARTA
2015


Cybercrime dan Cyber Low pembajakan film

1.      Cybercrime

Pelanggaran Hak Cipta Di Bidang Film
Pembajakan dalam bidang Film makin marak terjadi. Salah satu alasannya adalah karena VCD/DVD Film yang asli merupakan produk yang tidak bisa dikonsumsi oleh semua pihak dalam setiap kalangan. Hal ini dikarenakan kaset film yang asli dipatok dengan harga yang lumayan mahal. Jika dibandingkan dengan harga VCD/DVD bajakan yang hanya dibandrol dengan sepuluh ribu rupiah per keping, dengan kualitas gambar yang hampir sama. Tentusaja hal ini merupakan sesuatu yang menggiurkan dan memikat. Dengan semakin banyaknya peminat dan pembeli VCD/DVD bajakan ini, tentu saja membuat pihak-pihak yang melakukan pembajakan semakin menjalar.
Pembajakan film ke dalam format VCD dan DVD, bahkan sudah banyak dilakukan dengan mengcopy langsung dari VCD/DVD original yang baru beredar. Hal ini terjadi terutama pada film-film Indonesia. Menurut pengamatan ASIREVI, pembajakan dalam format VCD/DVD semakin meningkat karena banyaknya relokasi pabrik VCD/DVD illegal dari Cina, Hongkong dan Malaysia ke Indonesia. Diwilayah ini sedikitnya 2 juta keping VCD/DVD diedarkan setiap harinya, termasuk yang beredar dan dijual secara bebas di pertokoan.

2.      Cyber Low

Menurut Pasal 2 ayat (1)  UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UUHC”), hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHC tersebut dijelaskan :

“Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.

Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.”

Di dalam penjelasan umum UUHC juga disebutkan, Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral yakni hak pencipta untuk menuntut dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam karyanya ataupun salinannya dalam hubungan dengan penggunaan secara umum.

Kemudian, apakah film termasuk hal yang dilindungi oleh UUHC?Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf k, salah satu ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dilindungi hak cipta adalah sinematografi. Di dalam penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan sinematografi merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun yang dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya.

Perlindungan hak cipta atas film menjadikan pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial (Pasal 2 ayat [2] UUHC). Masa berlaku perlindungan hak cipta atas film adalah 50 tahun sejak pertama kali diumumkan (Pasal 30 ayat (1) UUHC). Walaupun film tersebut film asing, ketentuan perlindungan Hak Cipta dalam UUHC dapat berlaku bila (lihat Pasal 76 UUHC):

a.   Film tersebut diumumkan untuk pertama kali di Indonesia
b.    Negara asal film tersebut mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan Hak Cipta dengan Negara Republik Indonesia; atau
c.    Negara asal film tersebut dan Negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindungan Hak Cipta

Menyinggung istilah “pembajakan” yang Saudara sebutkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembajakan berasal dari kata dasar bajak yang berarti mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Kami mengartikan pembajakan film sebagai tindakan yang bertujuan untuk menggandakan/duplikasi film tanpa izin pemegang hak cipta. Oleh karena itu, jika ada orang yang menduplikasi film dari media yang resmi (misalnya cakram optik yang orisinal) ke internet tanpa izin dari pemegang hak ciptanya, hal tersebut sudah merupakan pembajakan dan melanggar hak eksklusif pemegang hak cipta film. 

Orang yang mengunggah (upload) tautan berkas (file link) ke internet sudah melakukan perbuatan pembajakan dengan melanggar hak cipta karena memperbanyak serta menyiarkan film tanpa izin peegang hak cipta sehingga dapat dijerat dengan untuk mengunduh (download) film asing bajakan dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Pasal 72 ayat (1) UUHC yang diancam dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000, atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000. Selain itu, ia juga dapat dikenakan Pasal 72 ayat (2) UUHC karena menyiarkan dan memamerkan kepada umum film hasil pelanggaran hak cipta. Ancaman pidana dalam ketentuan ini adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000

Perbuatan mengunggah film ke internet, tentunya membuka peluang orang lain untuk mengunduh film tersebut melalui internet. Perbuatan mengunduh film bajakan ini juga merupakan perbuatan memperbanyak ciptaan tanpa izin pemegang hak cipta serta menimbulkan kerugian ekonomi terhadap pemegang hak cipta sehingga termasuk pelanggaran terhadap hak cipta dan diancam dengan ketentuan pidana Pasal 72 ayat (1) UUHC yang telah disebutkan sebelumnya.

Jadi, tindakan mengunduh film asing bajakan di internet melanggar hukum di Indonesia, dalam hal ini UUHC.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:






Top