Toleransi terhadap Pembajakan Hak Cipta Masih Tinggi
Toleransi terhadap Pembajakan Hak Cipta Masih Tinggi
Toleransi terhadap pembajakan atas hak cipta di Indonesia masih tinggi.
Buktinya, hingga kini belum ada tindakan konkret dalam memberantas
pembajakan tersebut. Jikapun ada, sifatnya hanya sporadis dan tidak
sampai ke titik persoalan. Bahkan, diduga ada oknum aparat yang juga
"menikmati" keuntungan yang diperoleh dari pembajakan atas hak cipta.
Dalam UU Hak Cipta, hak
cipta tidak perlu didaftarkan melalui kantor pendafaran di Departemen
Kehakiman dan HAM cq. Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dengan
sendirinya, karya cipta tersebut dilindungi oleh hukum pada saat ide
tersebut sudah diwujudkan menjadi sebuah karya. Lain halnya dengan HKI
seperti Paten, Merek, Desain Industri, dan Rahasia Dagang.
Zen Umar Purba, Dirjen
HKI, mengatakan bahwa sebagai pemerintah, pihaknya tidak bisa begitu
saja melakukan pemberantasan pelanggaran. Namun, bagaimana menciptakan
satu sistem pengaturan yang juga tidak mematikan usaha masyarakat.
Selama ini, pihaknya sudah berkoordinasi dengan instansi terkait,
seperti polisi.
Polisi sendiri bukan
satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas pembajakan hak cipta
tersebut. Pselain itu, banyak pihak seperti kejaksaan dan pengadilan
termasuk juga masyarakat di dalamnya.
Zen menambahkan, dari
sekian banyak HKI yang dilindungi oleh undang-undang, hak cipta memang
lebih sensitif. Pasalnya, pelanggaran hak cipta di Indonesia
dikategorikan sebagai delik biasa. "Berbeda dengan keempat HKI lainnya
yang dikategorikan sebagai delik aduan," kata Zen.
Menurut catatan International Intellectual Property Alliance,
pada 2000-2001, angka pembajakan di Indonesia mencapai nilai AS$ 174
juta. Menanggapi catatan tersebut, Zen berpendapat bahwa dalam kasus ini
Indonesia tidak terlalu tinggi ketimbang negara lainnya seperti
Malaysia, Thailand, China, dan Korsel.
Angka pembajakan di
Malaysia mencapai AS$300 juta, bahkan di China mencapai AS$1 miliar.
"Namun dari AS$174 volume pembajakan memang benar prosentasenya cukup
besar, hampir mencapai rata-rata 90 persen dari seluruh barang yang
beredar," tegas Zen kepada hukumonline.
Lumrah mencari yang murah
Lumrah jika masyarakat
atau konsumen mencari barang bajakan karena harganya lebih murah
ketimbang membeli barang yang asli. Logika ini mungkin bisa diterima
oleh kalangan menengah ke bawah. Lalu bagaimana dengan mereka yang
berpandangan agar setiap karya memperoleh kompensasi sebagaimana
mestinya.
Saat ini, persoalan
terletak pada belenggu bahwa barang bajakan adalah barang haram. Yang
perlu dilakukan adalah mencari satu sistem perlindungan yang menyatakan
standar suatu hasil produksi. Kemudian, barang asli dengan bajakan
disejajarkan kemudian dibuat satu penilaian. "Setelah itu, biarkan
masyarakat menilai. Dengan begitu, terjadi persaingan di antara barang
yang sejenis," tambah Zen.
Peningkatan royalti
Sementara itu, Rinto
Harahap, Ketua YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) mengatakan bahwa
meski pembajakan terus berlangsung, terjadi peningkatn royalti setiap
tahunnya. Peningkatan ini diperoleh dari beberapa klasifikasi hak cipta
lagu yang beredar di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan oleh YKCI untuk
menegakkan hukum, khususnya di bidang hak cipta.
Di bawah ini royalti yang berhasil dihimpun oleh YKCI sejak tahun 1997 hingga 2001 lalu:
Tahun
|
Hak Mengumumkan
|
Hak Memperbanyak
|
Total Pengumpulan
| |
Dlm Negeri
|
Luar Negeri
| |||
1997
|
3.109.254.833
|
105.285.856
|
250.908.170
|
3.465.442.849
|
1998
|
2.888.185.257
|
293.721.881
|
169.148.832
|
3.351.055.970
|
1999
|
3.082.716.859
|
354.176.908
|
343.084.256
|
3.779.978.023
|
2000
|
3.947.673.679
|
368.708.832
|
711.525.850
|
5.027.908.361
|
2001
|
5.197.295.670
|
281.936.670
|
424.973.633
|
5.904.205.973
|
YKCI, menurut Rinto, juga telah bekerjasama dengan
Kepolisian Daerah untuk menyelenggarakan sosialisasi UU Hak Cipta di
beberapa wilayah Indonesia, seperti Sumatera Utara, Sumatra Selatan,
DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan beberapa wilayah
Indonesia lainnya.
Rinto mengemukakan
bahwa persoalan selama ini adalah lemahnya penegakan hukum di bidang
HKI. Hal ini dikarenakan proses hukum yang begitu lama untuk
menyelesaikan suatu kasus pelanggaran hak cipta.
Namun dari sekian
banyak persoalan, mengupayakan kesadaran masyarakat (pencipta dan
pengarang) merupakan faktor yang terpenting dari penegakkan hak cipta.
Penegakan HKI bukan ada di tangan penegak hukum, melainkan di tangan
setiap pribadi untuk tetap konsisten dalam menghargai karya cipta orang lain.